“Belum, entarlah kita belajar bareng, toh
malem ini aku nginep di rumah kamu kan???”
Malam ini, Fia nginap di rumahku. Dia
sangat disambut baik oleh bapak dan ibuku. Berasa seperti keluarga sendiri.
Karena aku adalah anak tunggal tanpa seorang kakak atau pun adik. Sepupu???
Mereka semua jauh beda kota bahkan ada yang beda provinsi. Adik bapak juga
seorang PNS di Kalimantan. Sedang kakak ibu berada di Surabaya ikut suaminya
dan bekerja sebagai pegawai kantoran. Adik Ibu masih tinggal di rumah nenek dan
kakek di dusun kecil kabupaten Bojonegoro. Dan aku beserta keluarga harus
tinggal di kota kecil ini. Karena terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Bapak
ibu saja yang bisa. Hal ini menjadi lelucon unik bagi Fia. Bapak Jawa tulen Ibu
Jawa tulen. Dalam rumusnya:
Dominan + Dominan = Dominan2.
|
Padahal
yang betul itu jika :
Dominan
+ Dominan = 2Dominan
Dan Jika:
Dominan x Dominan = Dominan2.
.
Sedang Fia sendiri asli Jakarta, tidak tau juga kenapa anak ini tiba-tiba nyasar di kota kecil. Mungkin dia telah bosan dengan kehidupan bising ibu kota. Ataukah ia artis yang nyasar dari Jakarta??? Seperti sebuah lelucon modern dalam film-film cerita artis kabur dari Jakarta. Jadi ingat aku akan cerita-cerita FTV yang selalu tayang tiap siang. Kisah sang artis ibu kota yang terdampar di kota kecil. Kisah artis ibu kota yang ingin kebebasan. Kisah artis ibu kota yang berseteru dengan managernya. Atau kisah artis ibu kota yang mencari kekasih. Aiih.... kenapa aku malah pusingkan kisah artis-artis. Padahal itu semua banyak fiksinya. Kisah hidupku sendiri tak jelas. Mungkin untuk diriku bisa berjudul “Kisah Gadis Aneh yang Tidak Tahu Bahasa Daerahnya Sendiri”, atau begini “Kisah Gadis Bodoh yang dibodoh-bodohi”. Agrhh... terserahlah..
Aku tertawa sendiri di kamar.
...
Kami berdua rebahan sambil menatap
langit-langit kamarku. Menerawang jauh kemasa depan. Mungkin Fia pun demikian.
Menerawang jauh ke masa depannya yang sudah menantikan kedatangnya. Sedang
aku??? Mungkin masa depan tak meyambutku. Mungkin masa depan berkata, “Jangan
kau pikirkan aku, aku tak pernah menantikanmu”. Sedangkan Fia, “Wahai Fia,
cepatlah kau jamah aku. Aku menantikanmu Fia. Aku ingin melangkah bersamamu
Fia. Biar kita berhasil bersama Fia.”. Irinya diriku...
Aku dan Fia gemar pelajaran Pengetahuan
Alam. Cita-citanya menjadi seorang dokter. Aku pun demikian. Itu cita-citaku
masih kecil, apalagi ketika aku juara 1 Ilmu Pengetahuan Alam tingkat sekolah
dasar di sebuah desa. Semakin menggebu-gebu keinginanku itu. Namun, hanya
keinginan yang tertancap dalam hati. Tak pernah terlontar dalam lisanku. Yang
sering ku katakan hanyalah, “Aku ingin menjadi editor atau jurnalis” padahal
tak ada niatku semacam itu. Aku mengisi mading sebagai hobi saja. Mengusir
label gadis aneh. Biarlah mereka menganggapku gadis aneh. Tapi mereka juga
harus mengacungiku jempol, sebiji saja untuk menghargai karya-karyaku.
“Ayo kita kerjakan tugas Kimia”, ajakku.
“Entar lah.. Males nih...”, jawab Fia
sambil menggulungkan badannya dengan guling. Dia pun menarik selimut dan
mengurung diri di dalamnya.
“Ayo...ayo..”, renggekku.
“Hmm................”
Aku manyun. Dia yang mengajak mengerjakan
tugas Kimia bersama, dan dia pula yang terpulas duluan. Lama aku tak
digubrisnya.
“Udah gak usah manyun and menggerutu”,
suara kecil samar-samar terdengar dari dalam selimut. Di keluarkan kepalanya
dengan kerudungan pakai selimut, mirip orang eskimo yang sedang kedinginan
kira-kira 10o C. 10o C??? Aihh mendekati titik beku. Aku
berjalan menuju meja belajar.
Ku ambil buku-buku yang sudah menggunung
di atas meja. Mereka tampak bahagia karena sudah berana menit aku tak
memperdulikannya. Buku yang berwarna biru berkata : Ambil aku, aku punya
rumus-rumus Kimia praktis loh. Kembali. Sedang buku LKS berkata: Pilih aku,
kumpulan soal-soalku sangat menantang. Pasti seru. Rumus-rumus dalam diriku
sangat lebih singkat padat and jelas. Sedang buku tugasku berkata:
kenapa kau menyambilku duluan? Aku yang akan kau gunakan dalam menyoret-nyoret
hasil tugasmu tuk dikumpulkan kepada
gurumu. Ku biarkan mereka saling berdebat dan membanggakan diri mereka
masing-masing. Aku pun mengambil mereka semua. Ku selonjorkan di atas tempat
tidur.
“Sini... Kamu bagian 1-5... aku 6-10..
Gimana???”, Fia mencoba memberi saran dan mengambil buku-buku itu tuk
dipilhnya.
“Ikut aja dah...”
“Hmm Fi, sambil cerita-cerita ya???”
“Iya”
Sembari mengerjakan tugas, kami tetap
berkelakar. Terkadang berpantun ria. Untuk mengurangi kejenuhan selama
mengerjakan tugas. Kan bosan juga kalau hanya berhadapan dengan soal-soal dan
soal. Aku sering menyerang Fia dengan pantun dan pantun. Fia yang tak terlalu
pandai bersastra hanya bisa ketawa jika mendengarkan pantunku. Mungkin logat tak
melayu. Pantun pun asal nyambung. Kadang kala tak tersambung. Aku pandai
bersastra karena ibuku guru Bahasa Indonesia. Aku kadang-kadang membaca
buku-buku tentang pantun dan kesastraan.
Akhirnya. Tugas kimia itupun selesai. Kami
letih. Otak pun ingin beristirahat. Deru jam menunjuk ke angka 11. Sudah larut.
Tak ada kebisingan yang terdengar. Kami tertidur. Pulas, bergumuh dalam
mimpi-mimpi.
…
Pagi itu, terik telah menyengat. Pertanda
sang surya telah meninggi. Sebetulnya hari ini adalah hari minggu. Rasa malas
pun meniup-niup dalam diri. Ingin tidur terus-terusan. Tanpa melakukan suatu
aktifitas. Malas. Namun mendekati jarum jam dipukul 8, ibu membangunkanku dan
Fia. Dengan wajah masih penuh cap tidur garis dan kerutan, kami berjalan
lunglai menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Terlihat samar-samar ibu tengah
memasak. Seperti ada tamu agung yang akan datang. Padahal hanya Fia seorang. Ku
sampiri ibu, dia hanya tersenyum. Bau aroma masakan ibu sudak meyuntik-nyuntik
dalam hidungku. Sedaaaap!
“Bantu ibu, ada tamu mau datang”, bisik
ibu padaku
“Sapa bu???”, tanyaku lirih.
“Fia”, ucap ibu sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
Aku terbohongi untuk kesekian kalinya.
Kalau Fia seorang, nasi tempe pun pasti dia makan. Setelah itu, ku sampiri
bapak yang sedang mengurusi taman bunga kesayangannya. Fia hanya mengekor di
belakangku. Menelitik dengan seksama apa yang dikerjakan bapak. Membongkar
bunga-bunga yang ada dalam pot, memisahkan tanaman-tanaman yang hidup saling
berkoloni namun terlihat tak rapi, menambahkan pupuk serta menggemburkan tanah.
Bapak mempraktekkannya semua. Terteguh Fia seperti melihat suatu hal yang
takjub. Mana mungkin juga Fia pandai dalam hal praktek mengurusi tanaman.
Meskipun ia tahu bahwa tanaman butuh kasih-sayang denga tulus. Butuh
ketelatenan. Butuh tanah yang gembur dan mengandung humus. Butuh kelembaban,
intensitas cahaya matahari, air dan sebagainya. Itu semua hanya teori belaka.
Tak pernah terealisasikan dalam prakteknya.
Tengah asyik duduk jongkok sambil
melihatku dan bapak kerja tiba-tiba ia menjerit, ketika ada seekor cacing tanah
terlempar pada saat ayah menggembur-gemburkan tanah. Antara takut, malu, jijik,
dan ingin tertawa. Rasa itu mungkin saling tindih menindih saling menonjol
dalam diri Fia. Tapi pasti rasa takut bin jijiknya lebih berkuasa. Karena dia
berteriak kencang sekali. Sementara rasa ingin tertawanya dia tunjukkan dengan
simpulan senyum tahan tawa di wajahnya.
Dengan cekatan bapak mengambilnya. Ku raih
kembali ketika bapak membuangnya di seberang badannya. Sengaja. Ku pegang, dan
ku perlihatkan di depan Fia. Alhasil, menjeritlah ia sekuat tenaga dan lari ke
dapur. Mungkin sekarang ia lebih memilih membantu Ibuku di dapur.
Aroma sedap makan ibu semakin menyengat.
Perut tak mampu tertahankan lagi. Bangun tidur, setelah tertidur lagi usai
solat subuh. Tak sebutir nasi menyentuh tenggorokanku. Langsung aku membantu
bapak. Fia pasti tengah asyik menghilangkan laparnya dengan sedikit mencicipi
masakan-masakan ibu. Ibuku pandai memasak, masakan apapun dapat diraciknya
menjadi super lezat di lidahku. Sehingga tak perlu kami merongoh kocek untuk
memenuhi nafsu makanan. Meskipun hanya masakan tradisional, namun itulah yang
terlezat. Tak perlu pizza karena ibuku mampu membuatkanku roti bakar,
atau burger, ibu pun mampu hanya menambahi danging, sayur dan tomat
walau roti yang dipakai hanya toti jajanan di kios-kios kecil. Ataupun spagetti,
mie ayam buatan ibuku jauuuh lebih lezat. Atau mie terus disiramkan beraneka saus-saus rumus masakan
ibuku sendiri. Sedap! Untuk kesekian kalinya ku bilang sedap masakan ibu.
Hingga siang, kami telah disibukkan dengan
kesibukan masing-masing seperti yang kami lakukan sejak pagi. Kami makan siang.
Menikmati bertapa lebih nikmat habis bekerja lalu makan.
Akhirnya, Fia pun harus tahu diri, telah
tiba saatnya ia kembali pulang. Mungkin orang tuanya yang paling memerlukan
tenanganya. Ia pulang, berpamitan dengan bapak dan ibuku dengan menyalami kedua
tangan kanan. Dia sudah seperti seorang kakak bagiku. Tapi malam, pasti ia akan
kembali lagi. Entah kenapa dia merasa rumahku adalah kamarnya. Aku pun
demikian, kadang-kadang aku juga bermalam di rumahnya.
No comments:
Post a Comment