
Sebelumnya
kisahku sampai berkenalan dengannya itu kira-kira... Ketikaku sedang
berjalan-jalan ria dengan sepeda ini untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba rantainya
lepas, aku tidak bodoh dalam hal beginian. Sebenarnya bisa ku benahi sendiri
jika rantainya tanpa penutup. Namun, rantainya masih terbungkus dengan penutup
entah terbuat dari besi. Harus memerlukan obeng untuk membuka baut-baut
pengeratnya. Aku hanya bisa mengendar suara rantai-rantai lepas yang sengau
saat ku memaju dan mundurkan sepda ini. Akupun terduduk nampak layaknya orang
gila bin aneh yang terkapar di pinggir jalan. Mau berbuat apapun akan sia-sia.
Pakai apa aku membuka penutup ini? Sepi tak ada orang disekelilingku, sesekali
hanya terdengar suara angkutan kota yang lewat tak memerdulikanku. Aku terduduk
lemas. Celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan, tak ada bayang-bayang orang yang
dapat menolongku. Terlihat di ujung jalan hanya kakek tua yang setengah bungkuk
menunggu mikrolet berikutnya yang akan lewat. Di sebelah ujung jalan pula. Ada
ibu-ibu dan anaknya yang kepanasan menunggu angkutan pula.
“Huft…
sial banget sih ah !!!”, gumamku sambil ku lihat sepeda ini.
“Kenapa
kau tak lepas di saat yang tepat. Di rumahkah???”
Tiba-tiba,
aku dikagetkan dengan bunyi rem motor dengan mendadak berhenti tepat di
depanku. Ia tersenyum. Dan aku??? Hanya terdiam. Menunduk.
“Kenapa
sepedanya???”, ia memulai pembicaraan.
“Rantainya
copot”
“Boleh
saya lihat???”
“Hmm…
Boleh”, jawabku dengan kerutan
kerutan di kening seperti bukit berbaris-baris.
“Tidak
usah takut. Walau ini jalan sepi namun masih ada penduduknyakan??? Kalo ada
apa-apa tinggal teriak saja”
Ternyata
pemuda ini tahu ketakutan yang sedang melandaku. Ku amati sekitar. Memang jalan
ini sepi. Namun masih ada atap-atap rumah yang muncul dari balik celah rimbunan
daun-daun pohon besar.
Segera
ia menurunkan tas sampingnya. Terlihat tak itu berat. Mungkin buku isinya
karena ia seperti sebaya denganku. Tapi bajunya. Begitu kumal penuh oli di
ujung-ujung jahitan. Keringat dari tadi telah tampak di dahinya. Diseka
sesekali. Tak ada sapu tangan, punggung tangan pun jadi. Aku hanya memerhatikan ia berkerja. Mungkin bagi kalian
ini adalah pekerjaan mudah. Bagiku??? Harus berurusan dengan obeng dan oli-oli.
Sangat tidak ada minat.
Aku melamun sejenak dengan posisi duduk
sekitar beberapa meter darinya. Jaga jarak gitu. Jadi kalau dia macam-macam
saya bisa lari secepat-cepatnya. Urusan sepeda biarlah.
“Sudah…”,
suaranya membuyarkanku.
“Hah….”
“Ini
dek sudah selesai”
“Oh…
iya iya… makasih. Berapa ongkosnya???”
“Tidak
usah pake ongkos, yang beginian masa harus diongkosi juga”, kata ia sambil
tersenyum dan menyeka keringat di dahinya. Seketika dahinya hitam, tergurat cap
dari sisa oli mungkin.
“Itu
di dahi kamu…”, sambil ku tunjuk-tunjuk dahinya dari jauh.
“Oh…
item ya???”
“Pake
ini saja…”, ucapku sambil ku cari-cari sapu tanganku dalam tas.
“Ini…”
“Iya
makasih..”, ia menerima dengan hangat sapu tanganku.
“Anggap
saja ongkos benerin rante ya…”
“Maaf,
kalo begitu nanti saya kasih kembali”
“Loh
kenapa???”, aku sedikit kecewa. Sombong sekali sih ini orang.
“Saya bantu tadi bukan minta dibayar”
“…”,
aku hanya diam. Ih… tak mau dibayar. Jaman sekarang masih ada orang yang mau bantu
tanpa pamrih. Kayak pahlawan tanpa jasa saja. Aku mulai memujinya “Begitu
baik hati pemuda ini”.
“Tapi
kalo hanya sebagai pemberian saya terima”, ucapnya santai.
Deg…
Hatiku berhenti sejenak. Sepertinya ia tau kalau hatiku sedikit kecewa
dengannya tadi. Bagaimana cara menerimanya tak diduga-duga. Pertama bikin kesan
sombong, kedua sok
“Okelah..
Hmmm begini saja. Sapu tangan itu saya kasih sebagai pemberian. Oke???”,
saranku.
“Iya…”,
jawabnya datar dengan senyuman.
Setelah
itu ia memberikanku alamat dimana aku bisa memperbaiki sepeda dengan gratis.
Dan dia anggap jasa ini adalah sebagai pemberian. Tulisan tinta hitam di atas
kertas kecil bekas sobekan kertas nota pembelanjaan nampaknya.
Kemudian.
Dia pergi meninggalkan aku dan sepedaku dengan senyuman dan salam sebelum
beranjak. Hal terbodoh yang mungkin
aku dan dia lakukan untuk kebiasaan orang yang ditolong dan diberi pertolongan
adalah tak ku sapa siapa namanya. Dan julukanku untuknya adalah lelaki
penolong. Mungkin aku pun mendapat julukan darinya sebagai gadis yang
patut tuk dikasihani.
Aku sangat menyesal bersikap jutek dan
judes padanya. Perkataanku datar tanpa ekspresi berterima kasih. Kenapa aku
bisa sekasar itu pada orang yang membantuku? Seharusnya ku berikan ucapan
terima kasih dengan senyuman. Bukan kejutekanku. Betapa tak berterima kasihnya
aku ini.
Dan sejak itu, ketika sepeda usang ini
mulai menunjukkan gejala. Aku mampir sejenak ke bengkelnya. Lelaki penolong
dengan kemurahan hati dan senyuman, Haris.
...
No comments:
Post a Comment