Pagi
ini kukayuh sepeda tuaku bersama Fia sahabatku. Sepedaku yang merupakan barang
rongsokan yang dibeli ibuku dari toko loakan beberapa tahun lalu. Aku bukan
termasuk keluarga kaya raya, yang bisa seenaknya meminta ini dan itu barang
serba mewah kepada bapak ibuku. Pun bapak ibu hanyalah seorang pegawai negeri
sipil yang amatlah sangat sederhana.
“Waduh,
tasku ketinggalan”, ucapku dengan nada kaget bin bingung.
“Kok bisa,
mana dah jauh ini kita jalan”
“Fi,
kamu tunggguin disini, bentar aja aku pergi ambil dulu tasku”
“Apa???
Asal cepat kamu datang”, gerutunya sembari menaikkan kerutan diatas jidatnya,
dengan bibir manyun semakin maju tak gentar.
Seketika,
aku melesat bagaikan seseorang yang sedang diburu oleh anjing galak yang
gong-gongannya mengalah suara petir. Dengan napas tersengal-sengal, aku tetap
melaju kayuh sepedaku. Mungkin menggunakan kecepatan 100 km perjam. Dan
akhirnya akupun kembali pulang di rumah. Ibuku heran melihatku baru pergi 15
menit eh sudah nongol lagi, dia menyodorkanku dengan pertanyaan plus beranjak
ke meja tuk mengambilkanku air putih.
“Ada
yang ketinggalan…”, jawabku sekilas dengan sedikit berlarian ke kamarku untuk
mengambil tasku.
Ibuku
dengan seragam PNSnya hanya bengong melihatku seperti orang yang kebakaran
jengot yang mencari ai untuk memadamkan api di jenggot. Dan aku masih bingung
kenapa hingga hari ini aku selalu terserang penyakit pikun secara mendadak.
Usai ku mangambil tas, akupun langsung menyambar air putih yang disediakan oleh
ibuku tadi. Bapakku telah menunggu ibu dengan motor vespanya di ruang tamu.
“
Bapak, Ibu aku berangkat dulu ya..”, seraya ku cium kedua tangan bapak ibu
berseragam PNS tersebut.
“
Lain kali, coba jangan selalu ceroboh. Ingat-ingat sesuatu. Ini sudah yang ke
puluhan kalinya kamu lupa bawa tas”, pesan bapak sambil memperbaiki kerah
bajunya.
“Siap
BOS!!! Assalamu’alaikum”
“
Wa’alaikum salam”
Ku
lanjutkan perjalanku menuju tempat Fia, sahabat sebangsa dan sejenisku yang
sedang menanti kedatanganku di pinggir jalan. Terlihat dari jauh tampak panik
plus takut diwajahnya sambil ia terus-terusan melihat jam tangan kuno tahun
1999 merk Alba.
“Ganeeee…
cepetan….”, teriak Fia
Aku mengayuh sepeda makin cepat. Sambil
berhosa-hosa ria juga. Napasku sudah tak teratur.
“Ayo lanjut”, pinta Fia tanpa mengasihiniku sedikitpun.
“Tunggu dulu dodol… gak liat apa ini napas aku semaputan”
“Ayolah….”,
pinta Fia lanyaknya orang butuh dikasihani. Tapi jelas-jelas lebih kasihan aku.
Setelah istirahat 3 menit kami pun langsung tancap gas dengan melajukan
sepeda..
Mendekati
wilayah sekolah, bunyi bel baru
berdecak. nyaris kami terlambat. Untungnya nasib baik masih diberikan
kepada kami.
“Gane, gak bisa apa ingat-ingat tas kamu???”, keluh Fia
dengan keringatnya yang membasahi wajah dari dahi turun keringat-keringat kecil.
“hmm….”
“dasar
gadis aneh!!!”
“kamu
juga aneh, inget donk!!! kita
kan sejenis dan seperjuangan…”, celotehku sambil tersenyum simpul untuk meredakan amarah Fia.
“What
ever lah… Ayuk ke kelas…”, ajaknya datar
nada yang dia ucapkan. Dan kemudian kami menuju kelas.
Hari
ini sebenarnya tak ada apel. Namun demikian, tetap saja jika terlambat maka
sangsi bersihkan kamar mandi
telah menanti. Aku telah membuat Fia menemaniku membersihkan kamar mandi sudah
kesekian kalinya, jadi yaa… mau tak mau aku harus berusaha memahaminya jika
sudah keadaan genting terlambat seperti tadi.
“Lihat,
dua anak aneh datang…!!!”, teriak seseorang di pintu kelas, tanpa melihatnya
pun aku sudah tau sapa dia. Sapa lagi kalo bukan Firman. Sedikit informasi,
Firman memiliki kebiasaan dan hobi selalu menghinaku. Aku dikatakan manusia aneh. Sebenarnya
apa yang aneh dalam diriku. It’s OK. I’m not beautiful. Saya Jilbaber. Mata
bulat. Bertahi lalat di pipi kanan. Kata orang tahi lalat di pipi itu cantik,
namun mana cantiknya???
“Eh
orang aneh, mana tugasmu. Pinjem!!!”, sambil mengulurkan tangan kirinya kepadaku, jelas-jelas Firman
meminta seperti komandan saja yang sedang minta laporan kepada anak buahnya.
“Emang
ada tugas ya???”, balas Fia dengan
cetusnya.
“Hoe
manusia aneh bin gadis aneh!!! Masa bisa lupa tugas.. hihihihihi…”, celotehnya sambil tertawa
cekikikan seperti ada suster ngesot versi cowok.
“Maaf
ya Komandan Firman. Tadi anda
mengatakan kalo kami ini manusia aneh… Tidak bisa ya bicara dengan sedikit
kata-kata yang halus??? Atau didik
sedikit bahasa kamu!!!”
Fia
mulai naik pitam. Kami memang sudah sering kali diperlakukan seperti ini.
Mungkin setelah teman-teman merasa dan melabel kami sebagai manusia aneh. Labelling jadi ingat aku akan pelajaran Sosiologi waktu
kelas X. Padahal teori labelling itu sendiri adalah penyimpangan yang
disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang
kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Aiih padahal teori ini tak sejalan dengan yang aku
alami. Buktinya saya tidak menyimpang. Hanya sedikit aneh, tapi itu pun hanya
pendapat bedebah satu sok tau ini. Dan akhirnya penerapan dari pemikiran
ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan
diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain
“anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan
menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan
seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Dan aku “Anak gadis yang dicap aneh, diperlakukan seperti orang aneh,
akhirnya akan menjadi aneh...”.. Aiii seandainya cantik, pintar, cerdas, atau
apakah yang setidaknya berbau bagus-bagus sedikit maka aku mau-mau saja.Nasib
oh nasib...
...
Fia kemudian pergi berlalu
meninggalkan Firman yang tampak jelas kerutan kekecewaan dan sakit hati karena
Fia. Tak lama kemudian masuk pelajaran pertama. Aku dan Fia duduk d bangku
pertama, ku tengok ke belakang muka asli super kawatir tingkat tinggi telah terukir
di wajah Firman. Fia tak memperdulikannya ketika ku beritahukan, ia hanya
berkata, “Sudah cukup lama kita diperlakukan seperti gadis aneh…”
No comments:
Post a Comment